Jumat, 13 Mei 2011

Film Seks Bodoh Buat Kaum Terdidik

Film Seks Bodoh Buat Kaum Terdidik

Salah satu adegan dalam film Indonesia, (Maxima Pictures)
 
Masyarakat masih peduli film Indonesia, jika kepedulian itu mensyaratkan adanya kritik. Ketika film impor terancam takkan beredar selamanya di tanah air, masyarakat berteriak hal itu akan meruntuhkan perfilman nasional.
 
Tanggapan yang sama ketika media ramai memberitakan penyewaan aktris 'film biru' dari luar negeri seperti Miyabi, Sora Aoi, dan, yang terkini, Sasha Grey. Publik lagi-lagi beralasan bahwa film-film lokal yang mereka bintangi tak layak tayang.

Syamsul Lussa, Direktur Perfilman pada Direktorat Nilai Budaya Seni dan Film di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan, "Sayang kalau menonton film tanpa pesan moral." Di ujung yang lain, seorang film-maker muda brilian, Joko Anwar, menukas bahwa film bisa menjadi, "Sarana pendidikan murah bagi rakyat."

Pengamat perfilman, Hikmat Darmawan, yang kerap pula berbicara tentang perkomikan dan produk budaya populer lain, menyatakan kondisi jagat perfilman Indonesia hari ini tak berbeda ketimbang dua dasawarsa lampau. Satu hal yang memberi nuansa adalah digitalisasi.
Kini, teknologi digital yang diaplikasikan ke alat-alat produksi film telah mampu menampilkan efek-efek melenakan. Bonardo Maulana Wahono dari VIVAnews meminta pendapat Hikmat lebih jauh melalui surat elektronik mengenai perfilman Indonesia sekarang.

Dari sudut pandang komersial, apakah mengontrak aktris 'film biru' langkah strategis?

Bagi produsernya, langkah mengundang aktris film biru pasti dianggap strategis secara komersial. Dan, mungkin dia percaya pameo: kalau bisnis, yang penting nyali. Dia tahu persis bahwa saat ini sedang meningkat gerakan moral dalam masyarakat. Dia berhasil cari celah untuk bikin kontroversi. Kontroversi, disengaja atau tidak, bisa bikin masyarakat "aware" atau "ngeh" tentang keberadaan sebuah produk. Lagipula, saya perhatikan, dia juga toh tak melanggar hukum, sepanjang tak ada adegan nude frontal atau adegan seks eksplisit/jelas, misalnya, penetrasi dsb. -- dia tak bikin film biru, hanya menggunakan aktor film biru.

Sebetulnya, ini bukan langkah yang orisinal. Di Indonesia sendiri, pada akhir 1980-an, cukup banyak praktik mengundang bintang "berani" dari Barat. Misalnya film komedi-seks Akibat Terlalu Bebas (1987) yang memakai bintang Amerika tak terkenal, tapi "berani", Kristine E. Weitz. Atau film-film horor buatan Cut Jalil atau Sisworo Gautama Putra yang kemudian diedarkan di Amerika pada jaringan bioskop-bioskop kelas bawah.

Pada 1990-an, di Hongkong, marak film-film soft-porn. Beberapa bintang perempuannya kemudian naik pangkat ke papan atas, seperti Shu Qi (terkenal sebagai model nude dan main berani di Sex & Zen II serta mencelat bintangnya saat diajak main film Jacky Chan, Gorgeous (1998)). Memang, pemanfaatan bintang 'film biru' (artinya, bintang film porno hardcore) mungkin baru marak sekarang di Asia -- Miyabi juga diajak main sebuah film Korea (atau Thailand?) pada 2000-an ini. Di Barat, sudah cukup sering. Tapi, baru-baru ini pun, sutradara papan atas Steven Andrew Soderbergh mengajak bintang porno hardcore, Sasha Grey, untuk film "The Girlfriend Experience."

Kira-kira, jika dibandingkan dengan gemebyar film-film 'paha dan dada' tahun 90an, yang terjadi sekarang bagaimana?

Dibandingkan dengan film-film seks 1990-an? (Banyak film) sekarang sama bodohnya. Cerita diabaikan. Karakterisasi apalagi. Yang dikejar hanya sensasi murahan. Sama saja. Tapi, sekarang, peralatan teknisnya lebih canggih jadi bisa pakai efek-efek "keren". Sekarang modusnya banyak yg pakai kamera digital, jadi main-main efeknya lebih mudah.

Tapi, bedanya. Pada 1990-an, masih banyak bioskop papan bawah, termasuk di daerah-daerah, sehingga film-film murahan itu memang untuk konsumsi pengunjung bioskop murahan juga. Kadang-kadang, ada juga yang diedarkan di pelosok kota, daerah yg dikelilingi perkampungan. Orang-orang kampung di sekitar bioskop-bioskop murah tersebut seakan tak punya pilihan, hanya punya hiburan itu. Kalau tidak di bioskop-bioskop murah, film-film itu akan laku di layar-layar tancap.
Nah, sekarang sudah seperti nyaris mutlak bahwa bioskop itu ada di mal atau cineplex lumayan mewah. Di Jakarta, setidaknya banyak bioskop murah pada 1990-an sudah tak ada lagi. Profil pengunjung bioskop sekarang didominasi pengunjung mal. Jadinya, lucu juga: film-film seks bodoh itu kini disasarkan kepada para pengunjung terdidik, cukup punya uang, jadinya sering dibikin lebih "kinclong" (posternya, bintang-bintangnya) daripada film-film seks 1990-an.

Sampai di mana perfilman Indonesia sekarang, dan seperti apa kiranya kondisi ke depan jika hal semacam ini - karya yang nyaris menihilkan estetika - terus berjalan?

Karya-karya jelek selalu ada di mana saja: tidak berarti itu yg akan meruntuhkan perfilman sebuah negara. Yang bikin runtuh kalau tak ada lagi yang mau berjuang bikin film bagus -- apa pun pengertian bagus itu. Persoalan film nasional lebih merupakan persoalan infrastruktur dan strategi kebudayaan: jika pemerintah tak mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan fiskal perfilman yang baik; atau pemerintah dan swasta (elemen-elemen masyarakat yg berkecimpung dalam bisnis) tak mampu merestrukturisasi perbioskopan kita; jika tak ada skema-skema strategis pembiayaan film-film bermutu; dan jika tak ada lagi pembuat film yang berjuang cari sela untuk selalu bikin film bagus dan relevan bagi masyarakatnya, maka perfilman kita akan hancur. Terus terang, bikin film jelek itu hak produser dan film-maker. Tapi, masalahnya, apakah hak publik untuk punya pilihan menonton film bagus atau film jelek terpenuhi atau tidak?

Umar Kayam pernah menulis pada 1979 bahwa salah satu hal yang bikin industri kreatif seperti film dan sastra susah maju adalah karena masyarakat belum secara penuh menerima medium dan isi yang disajikan. Selain itu, ia juga bilang bahwa pembinaan industri kreatif - seperti film dan sastra - demi membangun suatu kekuatan kultural dan ekonomik belum ada. Apakah menurut Anda situasi yang ia saksikan pada masa itu masih relevan dengan keadaan sekarang?

Ya dan tidak. Ya, masih relevan dari segi: belum ada semacam kesadaran strategi kebudayaan yang jelas, konkret, sekaligus visioner untuk membangun perfilman nasional. Para pelayan publik kita kebanyakan cuma sampai sebatas retorika belaka. Sementara, para insan filmnya juga tak terlalu kompak, tak ada gerakan bersama yang koheren dan menyangkut kepentingan publik yang luas, terlalu sporadis dan sering hanya mementingkan kelompok masing-masing.

Tapi ungkapan itu juga tak terlalu relevan dari segi: tekanan bahwa masyarakat "belum bisa menerima" isi film bagus itu sudah tak terlalu benar. Masyarakat kita sudah berubah secara sosiologis. Kini masyarakat punya banyak pilihan, dengan bantuan teknologi informasi yang semakin berkembang. Bukan hanya kelas menengah saja (tapi, terutama mereka), bukan juga hanya penduduk kota saja. Tapi, pilihan hiburan yang melimpah sudah bisa diakses jauh lebih banyak orang ketimbang zaman dulu. Yang terjadi, orang tinggal pilih: kalau jelek, bisa dengan mudah cari pilihan lain. Kalau film Indonesia jelek, bisa pilih film asing: Hollywood, Korea, Jepang, Eropa, "film-film festival", dengan relatif lebih mudah ketimbang tahun 1970-1980-an.(np)
• VIVAnews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar